Rabu, 29 April 2015

hikmatut tasyri'


BAB I
PENDAHULUAN

a.      Pendahuluan
Ushul fiqh merupakan pokok pembahasan dalam fiqh, dari ushul fiqh penulis akan membahas tentang hikmatu tasyri’. tentang hikmah yang ada dalam hukum ushul fiqh

b.      Rumusan Masalah
1)   Definisi Hikmatu Tasyri’
2)   Garis besar Hikmatut Tasyri’
3)   Ciri-ciri Hukum Islam



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
            Definisi ‘hikmah’ menurut ahli filsafat adalah seperti yang didefinisikan oleh Ibnu Sina dalam ‘Risalah at-Tabi’iyyah’:

“Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.”
            Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan mempunyai tiga unsur utama, yakni:
1). masalah,
2). fakta dan data, dan
3). analisis ilmuwan sesuai dengan teori.

Hikmah dipahami pula sebagai “paham yang mendalam tentang agama”. Hikmah dalam berdakwah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam surat an-Nahl (16): 125, berarti keterangan (burhan) yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan definisi yang diberikan al-Manar yaitu ilmu yang shahih yang akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena padanya terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia persoalan.[1]
            Sedangkan para fuqaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi ‘asrar al-ahkam’ (rahasia-rahasia hukum). Karenanya, kebanyakan kita sekarang apabila disebutkan falsafah hukum Islam langsung terbayang hikmah shalat, hikmah puasa, dan sebagainya (tidak terbayang sedikit pun bahwa usulul-ahkam dan qawa’id al-ahkam adalah falsafah yang murni Islam yang dihasilkan oleh daya pikir para filosof hukum/ mujtahid).[2] Para fuqaha mendefinisikan hikmah dengan:
“illat-illat (hikmah-hikmah) yang ditetapkan akal yang berpadanan/ yang sesuai dengan hukum”
            Adapun kata ‘Tasyri’ adalah lafal yang diambil dari kata “Syari’ah”, yang di antara maknanya adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan buat hamba-Nya untuk diikuti dengan penuh keimanan, baik yang berkaitan dengan perbuatan, aqidah, maupun dengan akhlaq. Sehingga “tasyri’” berarti menciptakan undang-undang dan membuat kaidah-kaidahnya, baik undang-undang itu datang dari agama (tasyri’ samawi) maupun dari perbuatan dan pikiran manusia (tasyri’ wadh’i).[3]
            Dengan demikian “Hikmah at-Tasyri’” adalah hikmah diciptakan, dibuat, dan ditetapkannya hukum Islam.
Islam diturunkan Allah swt, dengan membawa syariat dan pelajaran agar dijadikan sebagai aturan hidup dalam segala masa dan ihwalnya. Oleh karena itu setiap perkara telah ditentukan prinsip hukumnya serta memelihara kemaslahatan dalam penerapannya, begitu juga tabiat manusia sangat diperhatikan. Melakukan hilah itu boleh, selagi tidak membatalkan perkara haq atau tidak merusak tatanan syari,at Allah yang lurus.
Sumpahnya Nabi Ayyub yang akan memukul istrinya adalah merupakan rahmat dari Allah swt. Kepadanya dan kepada istrinya yang telah berkhidmat merawatnya serta sabar atas cobaan yang menimpa suaminya dan cobaan yang menimpa dirinya sendiri dengan penderitaan yang dialami suaminya, dimana kemudian Allah menyuruhnya agar memukulkan seikat kayu (rumput)dengan sekali pukulan demi memenuhi sumpahnya, sehingga tidak melanggar sumpah yang terlanjur diucapkannya.
Seseorang diperbolehkan membebaskan diri dari sumpah yang terlanjur diucapkannya atau membayar kaffarat, apabila membawa kemaslahatan. Sedangkan membayar kafarat lebih utama daripada membebeskan diri (dengan helah).
Perbedaan pendapat para fuqaha pada kisah Nabi Ayyub yang memukul istrinya dengan mengikat seratus kayu (rumput), bukan dengan seratus kali pukulan, karena sumpahnya. Terbagi menjadi dua :
  1. Imam Malik dan Ahmad, berpendapat : Ia belum bebas dari sumpahnya selama belum memukulnya berulang-ulang secara terpisah.
Alasannya :
  1. Bahwa sesungguhnya problem ini adalah khusus menyangkut diri Nabi Ayyub dan istrinya karena Allah berfirman :
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS al Maidah 5 : 48)
Juga karena istri Ayyub as tidak melakukan perkara yang mengharuskan ia di hukum (didera) seratus kali, oleh karena itu Allah swt memberikan jalan keluar bagi Ayyub, untuk membebaskan dirinya dari sumpah yang diucapkan.
  1. Bahwa apabila seseorang bersumpah akan memukul, maka tujuannya adalah untuk menyakitkan, padahal menghimpun sejumlah pukulan dengan sekalipukul tidak memenuhi tujuan itu.
  2.  Bahwa sumpah-sumpah itu dasarnya adalah niat, sedang kalau tanpa niat maka dasarnya harus dilihat dari segi lughat dan urf (bahasa dan kebiasaan), padahal dari segi bahasa orang yang memukul dengan sekali pukulan, dengan sebuahcambuk yang bercabang-cabang tidak dapat disebutsebagai memukul berkali-kali menurut jumlah cabangnya, begitu pula sebagai urf.
  3. Abu Hanifah dan Syafi’i, berpendapat : apabila salah satu pukulan telah mengena, maka ia telah bebas dari sumpahnya dan tidak disyaratkan harus terpisah-pisah.
Alasannya :
  1. Keumuman kisah Ayyub as dan syri’at umat terdahulu berlaku juga bagi kita selagi tidak dimansukh, padahal dalam hal ini jelas ada ketentuan yang memperkuatnya serta tidak ada yang menasikhnya.
  2. Mereka juga mejadikan hadits Abi Umamah sebagai dalil. Hadits dimaksud diriwayatkan dari sebagian shahabat anshar, yaitu bahwa salah seorang dari mereka mengadu lalu diulang dipukul pada tulangnya, lalu ada seorang hamba perempuan masuk masuk, maka ia pun bergembira lalu perempuan itu dipukul, kemudian tatkala orang-orang dari kamunya masuk untuk mengunjunginya, maka memberitahukan hal itu pada mereka seraya berkata : “mintalah fatwa kepada Rasulullah tentang masalahku. Maka mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw menyuruh mereka agar mengambil seratus tandan anggur lalu di pukulkannya dengan sekali pukulan. Sedang ayat tersebut menunjukan cara ini, karena jumlahnya telah memenuhi sehingga dapat membebaskan sumpah.
  3. Mereka berkata : al qur’an menetapkan, bahwa Ayyub tidak melanggar sumpah dengan perbuatannya itu sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya. “Maka pukullah (istrimu) dengan seikat rumput itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.”




B.     Garis besar Hikmatut Tasyri’

a.       Maqasid Al-Ahkam

Dari segi bahasa berarti maksud atau tujuan disyari'atkannya hukum-hukum Islam. Maka dari itu yang menjadi pembahasan utama adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum.
sedangkan terbentuknya sebuah hukum, penulis mengungkapkan tiga maslahah. Yaitu:
  1. kebutuhan dhorurioyat;
  2. kebutuhan hajiyyat,dan
  3. kebutuhan tahsiniyyat.
Dari ketiga hal diatas, yang menjadi asal dari yang lainnya adalah dhoruriyyat, sedangkan yang dua adalah cabang-cabangnya. Maka apabila dhoruriyyat bertentangan dengan kedua hal yang lain, naka tetap diutamakan. secara berurutan hajiyyat sebagai penyempurna pada dhoruriyyat, sedangkan tahsiniyyat sebagai penyempurna dari hajiyyat.

b.      Qowa'id Istinbath dan Qowa'id fiqhiyyah

Istinbath merupakan penyimpulan hukum bagi suatu masalah.Fiqh kita artikan sebagai pemahaman yang mendalam. Sedangkan para fuqoha menyimpulkan tentang Qo'idah Fiqhiyyah sebagai suatu kaidah yang bersifat umum (kulli), yang mengelompokkan masalah fiqh secara terperinci menjadi beberapa kelompok adalah Qowa'id Istinbath. Dari pengertian tersebut menurut penulis, dapat dikorelasikan antara pengertian Istinbath dg Fiqh yaitu mengenai sebuah kaidah atau pedoman yang memudahkan proses Istinbath (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-maslah yang serupa dalam satu kaidah berikut atas bagian-bagiannya juga. Penulis simpulkan bahwa Qowa'id Fiqhiyyah merupakan permaslahan yang kulli, maka peran Qowa'id Istinbath adalah untuk memperinci maslah-malsah yang kulli tersebut berdasarkan sumber hukum Samawi dan Sumber hukum Aqli.

c.       Khosoisul Ahkam

Kata di atas sering kita sebut sebagai cirri-ciri hukum Islam. seperti yang telah kita lalui, bahwasanya banyak sekali pembahasan yang telah terlewati dalam belajar Hikmatut Tasyri' ini. Ada tiga dalam penulisan kali ini mengenai cirri-ciri Hukum Islam. yaitu : Insani (Humanisme), Bermoral (akhlaki), dan universal (menyeluruh).[4]

d.      Tawabi'ul Ahkam

Berbicara mengenai Tawabi'ul Ahkam maka yang akan kita bicarakan adalah Watak atau karakteristik-karakteristik khusus yang dimiliki oleh Hukum Islam, dan karakteristik tersebut selamanya tidak akan mengalami perubahan.
Ibarat pembaca ingin mengetahui kepribadian seseorang, maka pembaca harus mengetahui tentang karakteristiknya, begitu halnya dengan Hukum Islam ini. [5]

C.    CIRI-CIRI HUKUM ISLAM

1)        Berwatak Universal
Agama Islam sejak awal di proyeksikan sebagai agama yang bersifat universal, yakni sebuah agama yang melampaui ruang geografis suatu wilayah atau Negara, di samping juga batasan waktu. Ia merupakan agama bagi seluruh ummat manusia di seluruh pelosok jagad raya. hukum islam di bedakan dengan hukum yang lain dari semua hukum yang di ketahui manusia dari agama-agama, filsafat-filsafat dan madzhab-madzhab (aliran-aliran). Kesyumulan islam termasuk di dalam syariat (hukum), berlaku segala zaman kehidupan dan eksistensi (keberadaan) manusia. [6]
Yusuf Qardlawi menyatakan bahwa syariat yang ada dalam Islam merupakan syariat yang juga syamil. Syariat islam bukan hanya ditetapkan sebagai syariat (tata aturan) bagi individu tanpa memperhatikan kehidupan keluarga, bukan hanya untuk kehidupan keluarga tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat, dan bukan untuk masyarakat tertentu tanpa memperhatikan masyarakat yang lain.
Ke-syumulan syariat Islam di syaratkan dalam firman Allah surat al-Mulk ayat 14 :
الا يعلم من خلقوؤهؤ االطيف الخبير

“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”

Ke syumulan Syariat Islam mencakup :
Ø  Masalah individu
Ø  Masalah moneter
Ø  Masalah pidana dan perdata
Ø  Masalah undang-undang kenegaraan
Ø  Masalah UU manejerial atau administraasi dan ekonomi
Sebagai Agama Universal, pesan-pesan luhur Islam tidak hanya berlaku bagi orang-orang Arab, tetapi berlaku bagi ummat manusia tanpa mengenal penyekatan dalam bentuk apapun. Pesan Universal agama Islam semakin terlihat jelas pada pesan-pesan Makkiyah sebagai tahap awal penyiaran islam.[7]
Sebagai Agama Universal, Islam dapat mereflesikan nilai-nilai kebebasan sejauh dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan hukum. Beberapa jenis kebebasan yang mendapatkan jaminan dalam Islam adalah :
·      Kebebasan beragama
Islam tidak pernah melarang ummatnya untuk berkomunikasi dengan komunitas ummat lainnya yang memiliki perbedaan keyakinan.pemaksaan terhadap orang lain untuk memeluk dilarang dalam islam. Artinya, Islam mengutuk pemaksaan dalam bentuk apapun, termasuk pemaksaan untuk memeluk suatu agama atau keyakinan tertentu.
·      Kebebasan berpendapat
Bagi seorang muslim, Iman adalah bagian mendasar dari kesadaran keagamaannya, Iman itu sendiri terkait erat dengan amal. Kaitan itu bisa dinyatakan bahwa amal yang praktis merupakan tuntunan langsung iman yang spiritual. Namun demikian, terdapat satu lagi bentuk kesadaran muslim yang bersama-sama dengan kesadaran iman dan amal membentuk segi tiga pola hidup yang kokoh dan benar, yaitu fakir dan keilmuan. Banyak sekali seruan dan ajaran dalam al-qur’an kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan dan gugatan atau perintah supaya ia brfikir, merenung dan menalar.
·      Kebebasan berkarya
Kebebasan berkarya bukannya bebas tanpa batas, melainkan dibatasi oleh norma dan etika.

2)   Bersifat kemanusiaan
Agama Islam dititahkan untuk kebaikan dan kemaslahatan masyarakat manusia baik individu maupun kolektif. Manusia mendapat amanat sebagai hamba dan khalifah.[8]
Salah satu ciri hukum Islam adalah bersifat kemanusiaan, yakni adanya syari’ah yang mewajibkan umat Muslim untuk saling tolong menolong, mengeluarkan zakat, infaq, shodaqah, dan waqaf. Islam mewajibkan umatnya untuk tolong menolong dalam kebaikan.[9]

  
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.



DAFTAR PUSTAKA

  1. Tamrin Dahlan, filsafat hukum islam Malang: Uin malang press, 2007
  2. Hefni Moh, filsafat hukum, Pamekasan: Stain Press, 2010
  3. Ishomuddin Abdadi, Ushul fiqh, Pamekasan: STAIN press, 2010
  4. Daud Mohammad, Hukum Islam,  Jakarta : PT. raja grafindo persada, 2008



[1] Abdadi Ishomuddin, Ushul fiqh (pamekasan: STAIN press, 2010) hal 11
[2] Abdadi Ishomuddin, Ushul fiqh (pamekasan: STAIN press, 2010) hal 11
[3] H. Mohammad Daud, Hukum Islam (Jakarta : PT. raja grafindo persada) hal 53
[4] Moh. Hefni, filsafat hukum (pamekasan: stain press, 2010)hal 23-36
[5] H.Dahlan tamrin, filsafat hukum islam (malang: Uin malang press, 2007) hal 11
[6] H.Dahlan tamrin, filsafat hukum islam (malang: Uin malang press, 2007) hal 27
[7] Moh. Hefni, filsafat hukum (pamekasan: stain press, 2010)hal 25-26

[8] H.Dahlan tamrin, filsafat hukum islam (malang: Uin malang press, 2007) hal 24
[9] Moh. Hefni, filsafat hukum (pamekasan: stain press, 2010)hal 33