BAB I
PENDAHULUAN
a.
Pendahuluan
Ushul fiqh
merupakan pokok pembahasan dalam fiqh, dari ushul fiqh penulis akan membahas
tentang hikmatu tasyri’. tentang hikmah yang ada dalam hukum ushul fiqh
b.
Rumusan Masalah
1)
Definisi Hikmatu Tasyri’
2)
Garis besar Hikmatut Tasyri’
3)
Ciri-ciri Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Definisi ‘hikmah’
menurut ahli filsafat adalah
seperti yang didefinisikan oleh Ibnu
Sina dalam ‘Risalah
at-Tabi’iyyah’:
“Hikmah ialah
mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan
membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut
kadar kemampuan manusia.”
Rumusan tersebut mengisyaratkan
bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan mempunyai tiga unsur utama, yakni:
1). masalah,
2). fakta dan data, dan
3). analisis ilmuwan sesuai dengan teori.
Hikmah dipahami pula sebagai “paham yang mendalam tentang agama”. Hikmah dalam
berdakwah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam surat an-Nahl (16): 125, berarti keterangan (burhan) yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan
definisi yang diberikan al-Manar
yaitu ilmu yang shahih yang akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang
bermanfaat, karena padanya terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang
hukum-hukum dan rahasia-rahasia persoalan.[1]
Sedangkan para fuqaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi ‘asrar al-ahkam’ (rahasia-rahasia
hukum). Karenanya, kebanyakan kita sekarang apabila disebutkan falsafah hukum
Islam langsung terbayang hikmah shalat, hikmah puasa, dan sebagainya (tidak
terbayang sedikit pun bahwa usulul-ahkam
dan qawa’id al-ahkam adalah falsafah yang murni Islam yang dihasilkan oleh
daya pikir para filosof hukum/ mujtahid).[2]
Para fuqaha mendefinisikan hikmah dengan:
“illat-illat
(hikmah-hikmah) yang ditetapkan akal yang berpadanan/ yang sesuai dengan hukum”
Adapun kata ‘Tasyri’ adalah lafal yang diambil dari kata “Syari’ah”, yang di antara maknanya
adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan buat hamba-Nya untuk
diikuti dengan penuh keimanan, baik yang berkaitan dengan perbuatan, aqidah,
maupun dengan akhlaq. Sehingga “tasyri’”
berarti menciptakan undang-undang dan membuat kaidah-kaidahnya, baik
undang-undang itu datang dari agama (tasyri’
samawi) maupun dari perbuatan dan pikiran manusia (tasyri’ wadh’i).[3]
Dengan demikian “Hikmah at-Tasyri’” adalah hikmah
diciptakan, dibuat, dan ditetapkannya hukum Islam.
Islam
diturunkan Allah swt, dengan membawa syariat dan pelajaran agar dijadikan
sebagai aturan hidup dalam segala masa dan ihwalnya. Oleh karena itu setiap
perkara telah ditentukan prinsip hukumnya serta memelihara kemaslahatan dalam
penerapannya, begitu juga tabiat manusia sangat diperhatikan. Melakukan hilah
itu boleh, selagi tidak membatalkan perkara haq atau tidak merusak tatanan
syari,at Allah yang lurus.
Sumpahnya Nabi
Ayyub yang akan memukul istrinya adalah merupakan rahmat dari Allah swt.
Kepadanya dan kepada istrinya yang telah berkhidmat merawatnya serta sabar atas
cobaan yang menimpa suaminya dan cobaan yang menimpa dirinya sendiri dengan
penderitaan yang dialami suaminya, dimana kemudian Allah menyuruhnya agar
memukulkan seikat kayu (rumput)dengan sekali pukulan demi memenuhi sumpahnya,
sehingga tidak melanggar sumpah yang terlanjur diucapkannya.
Seseorang
diperbolehkan membebaskan diri dari sumpah yang terlanjur diucapkannya atau
membayar kaffarat, apabila membawa kemaslahatan. Sedangkan membayar kafarat
lebih utama daripada membebeskan diri (dengan helah).
Perbedaan
pendapat para fuqaha pada kisah Nabi Ayyub yang memukul istrinya dengan
mengikat seratus kayu (rumput), bukan dengan seratus kali pukulan, karena
sumpahnya. Terbagi menjadi dua :
- Imam Malik dan Ahmad, berpendapat : Ia belum bebas dari sumpahnya selama belum memukulnya berulang-ulang secara terpisah.
Alasannya :
- Bahwa sesungguhnya problem ini adalah khusus menyangkut diri Nabi Ayyub dan istrinya karena Allah berfirman :
لِكُلٍّ
جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS al Maidah 5 : 48)
Juga karena
istri Ayyub as tidak melakukan perkara yang mengharuskan ia di hukum (didera)
seratus kali, oleh karena itu Allah swt memberikan jalan keluar bagi Ayyub,
untuk membebaskan dirinya dari sumpah yang diucapkan.
- Bahwa apabila seseorang bersumpah akan memukul, maka tujuannya adalah untuk menyakitkan, padahal menghimpun sejumlah pukulan dengan sekalipukul tidak memenuhi tujuan itu.
- Bahwa sumpah-sumpah itu dasarnya adalah niat, sedang kalau tanpa niat maka dasarnya harus dilihat dari segi lughat dan urf (bahasa dan kebiasaan), padahal dari segi bahasa orang yang memukul dengan sekali pukulan, dengan sebuahcambuk yang bercabang-cabang tidak dapat disebutsebagai memukul berkali-kali menurut jumlah cabangnya, begitu pula sebagai urf.
- Abu Hanifah dan Syafi’i, berpendapat : apabila salah satu pukulan telah mengena, maka ia telah bebas dari sumpahnya dan tidak disyaratkan harus terpisah-pisah.
Alasannya :
- Keumuman kisah Ayyub as dan syri’at umat terdahulu berlaku juga bagi kita selagi tidak dimansukh, padahal dalam hal ini jelas ada ketentuan yang memperkuatnya serta tidak ada yang menasikhnya.
- Mereka juga mejadikan hadits Abi Umamah sebagai dalil. Hadits dimaksud diriwayatkan dari sebagian shahabat anshar, yaitu bahwa salah seorang dari mereka mengadu lalu diulang dipukul pada tulangnya, lalu ada seorang hamba perempuan masuk masuk, maka ia pun bergembira lalu perempuan itu dipukul, kemudian tatkala orang-orang dari kamunya masuk untuk mengunjunginya, maka memberitahukan hal itu pada mereka seraya berkata : “mintalah fatwa kepada Rasulullah tentang masalahku. Maka mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw menyuruh mereka agar mengambil seratus tandan anggur lalu di pukulkannya dengan sekali pukulan. Sedang ayat tersebut menunjukan cara ini, karena jumlahnya telah memenuhi sehingga dapat membebaskan sumpah.
- Mereka berkata : al qur’an menetapkan, bahwa Ayyub tidak melanggar sumpah dengan perbuatannya itu sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya. “Maka pukullah (istrimu) dengan seikat rumput itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.”
B.
Garis besar Hikmatut Tasyri’
a.
Maqasid Al-Ahkam
Dari segi bahasa
berarti maksud atau tujuan disyari'atkannya hukum-hukum Islam. Maka dari itu
yang menjadi pembahasan utama adalah mengenai masalah hikmat dan ilat
ditetapkannya suatu hukum.
sedangkan terbentuknya sebuah hukum, penulis
mengungkapkan tiga maslahah. Yaitu:
Dari ketiga hal
diatas, yang menjadi asal dari yang lainnya adalah dhoruriyyat,
sedangkan yang dua adalah cabang-cabangnya. Maka apabila dhoruriyyat bertentangan
dengan kedua hal yang lain, naka tetap diutamakan. secara berurutan hajiyyat
sebagai penyempurna pada dhoruriyyat, sedangkan tahsiniyyat sebagai
penyempurna dari hajiyyat.
b.
Qowa'id Istinbath dan Qowa'id fiqhiyyah
Istinbath
merupakan penyimpulan hukum bagi suatu masalah.Fiqh kita artikan sebagai
pemahaman yang mendalam. Sedangkan para fuqoha menyimpulkan tentang Qo'idah
Fiqhiyyah sebagai suatu kaidah yang bersifat umum (kulli), yang mengelompokkan
masalah fiqh secara terperinci menjadi beberapa kelompok adalah Qowa'id Istinbath.
Dari pengertian tersebut menurut penulis, dapat dikorelasikan antara pengertian
Istinbath dg Fiqh yaitu mengenai sebuah kaidah atau pedoman yang memudahkan
proses Istinbath (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara
menggolongkan masalah-maslah yang serupa dalam satu kaidah berikut atas
bagian-bagiannya juga. Penulis simpulkan bahwa Qowa'id Fiqhiyyah merupakan
permaslahan yang kulli, maka peran Qowa'id Istinbath adalah untuk memperinci
maslah-malsah yang kulli tersebut berdasarkan sumber hukum Samawi dan Sumber
hukum Aqli.
c.
Khosoisul Ahkam
Kata di atas
sering kita sebut sebagai cirri-ciri hukum Islam. seperti yang telah kita
lalui, bahwasanya banyak sekali pembahasan yang telah terlewati dalam belajar
Hikmatut Tasyri' ini. Ada tiga dalam penulisan kali ini mengenai cirri-ciri
Hukum Islam. yaitu : Insani (Humanisme), Bermoral (akhlaki), dan universal
(menyeluruh).[4]
d.
Tawabi'ul Ahkam
Berbicara
mengenai Tawabi'ul Ahkam maka yang akan kita bicarakan adalah Watak atau
karakteristik-karakteristik khusus yang dimiliki oleh Hukum Islam, dan
karakteristik tersebut selamanya tidak akan mengalami perubahan.
Ibarat pembaca
ingin mengetahui kepribadian seseorang, maka pembaca harus mengetahui tentang
karakteristiknya, begitu halnya dengan Hukum Islam ini. [5]
C.
CIRI-CIRI HUKUM ISLAM
1)
Berwatak Universal
Agama Islam
sejak awal di proyeksikan sebagai agama yang bersifat universal, yakni sebuah
agama yang melampaui ruang geografis suatu wilayah atau Negara, di samping juga
batasan waktu. Ia merupakan agama bagi seluruh ummat manusia di seluruh pelosok
jagad raya. hukum islam di bedakan dengan hukum yang lain dari semua hukum yang
di ketahui manusia dari agama-agama, filsafat-filsafat dan madzhab-madzhab
(aliran-aliran). Kesyumulan islam termasuk di dalam syariat (hukum), berlaku
segala zaman kehidupan dan eksistensi (keberadaan) manusia. [6]
Yusuf Qardlawi
menyatakan bahwa syariat yang ada dalam Islam merupakan syariat yang juga
syamil. Syariat islam bukan hanya ditetapkan sebagai syariat (tata aturan) bagi
individu tanpa memperhatikan kehidupan keluarga, bukan hanya untuk kehidupan
keluarga tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat, dan bukan untuk masyarakat
tertentu tanpa memperhatikan masyarakat yang lain.
Ke-syumulan
syariat Islam di syaratkan dalam firman Allah surat al-Mulk ayat 14 :
الا يعلم من خلقوؤهؤ االطيف الخبير
“Apakah Allah
yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan), dan
dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Ke syumulan
Syariat Islam mencakup :
Ø Masalah
individu
Ø Masalah moneter
Ø Masalah pidana
dan perdata
Ø Masalah
undang-undang kenegaraan
Ø Masalah UU
manejerial atau administraasi dan ekonomi
Sebagai Agama
Universal, pesan-pesan luhur Islam tidak hanya berlaku bagi orang-orang Arab,
tetapi berlaku bagi ummat manusia tanpa mengenal penyekatan dalam bentuk
apapun. Pesan Universal agama Islam semakin terlihat jelas pada pesan-pesan
Makkiyah sebagai tahap awal penyiaran islam.[7]
Sebagai Agama
Universal, Islam dapat mereflesikan nilai-nilai kebebasan sejauh dapat
dipertanggung jawabkan secara moral dan hukum. Beberapa jenis kebebasan yang
mendapatkan jaminan dalam Islam adalah :
·
Kebebasan beragama
Islam tidak pernah melarang ummatnya untuk
berkomunikasi dengan komunitas ummat lainnya yang memiliki perbedaan
keyakinan.pemaksaan terhadap orang lain untuk memeluk dilarang dalam islam.
Artinya, Islam mengutuk pemaksaan dalam bentuk apapun, termasuk pemaksaan untuk
memeluk suatu agama atau keyakinan tertentu.
·
Kebebasan berpendapat
Bagi seorang muslim, Iman adalah bagian
mendasar dari kesadaran keagamaannya, Iman itu sendiri terkait erat dengan
amal. Kaitan itu bisa dinyatakan bahwa amal yang praktis merupakan tuntunan
langsung iman yang spiritual. Namun demikian, terdapat satu lagi bentuk
kesadaran muslim yang bersama-sama dengan kesadaran iman dan amal membentuk
segi tiga pola hidup yang kokoh dan benar, yaitu fakir dan keilmuan. Banyak
sekali seruan dan ajaran dalam al-qur’an kepada manusia untuk mencari dan
menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan dan gugatan atau perintah
supaya ia brfikir, merenung dan menalar.
·
Kebebasan berkarya
Kebebasan berkarya bukannya bebas tanpa batas,
melainkan dibatasi oleh norma dan etika.
2)
Bersifat kemanusiaan
Agama Islam
dititahkan untuk kebaikan dan kemaslahatan masyarakat manusia baik individu
maupun kolektif. Manusia mendapat amanat sebagai hamba dan khalifah.[8]
Salah satu ciri
hukum Islam adalah bersifat kemanusiaan, yakni adanya syari’ah yang mewajibkan
umat Muslim untuk saling tolong menolong, mengeluarkan zakat, infaq, shodaqah,
dan waqaf. Islam mewajibkan umatnya untuk tolong menolong dalam kebaikan.[9]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan
segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun
praktek menurut kadar kemampuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
- Tamrin Dahlan, filsafat hukum islam Malang: Uin malang press, 2007
- Hefni Moh, filsafat hukum, Pamekasan: Stain Press, 2010
- Ishomuddin Abdadi, Ushul fiqh, Pamekasan: STAIN press, 2010
- Daud Mohammad, Hukum Islam, Jakarta : PT. raja grafindo persada, 2008
[1] Abdadi Ishomuddin, Ushul fiqh (pamekasan: STAIN press, 2010) hal 11
[2] Abdadi Ishomuddin, Ushul fiqh (pamekasan: STAIN press, 2010) hal 11
[3] H. Mohammad Daud, Hukum Islam (Jakarta : PT. raja grafindo persada)
hal 53
[4] Moh. Hefni, filsafat hukum (pamekasan: stain press, 2010)hal 23-36
[5] H.Dahlan tamrin, filsafat hukum islam (malang: Uin malang press,
2007) hal 11
[6] H.Dahlan tamrin, filsafat hukum islam (malang: Uin malang press,
2007) hal 27
[7] Moh. Hefni, filsafat hukum (pamekasan: stain press, 2010)hal 25-26
[8] H.Dahlan tamrin, filsafat hukum islam (malang: Uin malang press,
2007) hal 24
[9] Moh. Hefni, filsafat hukum (pamekasan: stain press, 2010)hal 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar